Saturday, March 15, 2014

Demokrasi = Munafik

Dalam sebuah hadits, Rasulullah Muhammad SAW bersabda, " Ciri-ciri orang munafik ada tiga, yaitu jika berkata dia bohong, jika berjanji dia mengingkari, dan jika dipercaya dia berkhianat." Orang munafik itu sama bahayanya dengan orang kafir bahkan bisa jadi orang munafik jauh lebih berbahaya dari pada orang kafir karena kalau orang kafir sudah jelas kekafirannya. Sedangkan orang munafik itu 'abu-abu'. Kelihatannya saja dia beriman, tapi dia musuh dalam selimut.

Itulah yang terjadi saat ini di Indonesia. Seorang Gubernur DKI, yang diamanahi untuk memimpin ibukota dan sudah berjanji kepada masyarakat Jakarta untuk menyelesaikan permasalahan di ibukota, ternyata mengingkari janji dan mengkhianati amanah dari masyarakat, dan lebih memilih mematuhi perintah ketua umum partai untuk maju menjadi capres.

Sang Gubernur tersebut seolah tidak mampu berbuat banyak karena telah dicocok hidungnya oleh pimpinan partai moncong banteng. Dia mengkhianati rakyat Jakarta, juga mengkhianati rakyat Solo, tempat kelahiran dia. Dan yang paling parah lagi, partai moncong banteng itu mengatasnamakan rakyat Indonesia dengan mencapreskan sang Gubernur.

Dari contoh tersebut, dapatlah diambil kesimpulan bahwa DEMOKRASI mengajarkan siapapun untuk menjadi orang MUNAFIK. Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang paling dzolim dan paling kotor dalam sejarah. Pemilu sebagai produk demokrasi hanyalah sebagai ajang pesta pora bagi para 'boneka' kaum kapitalis dan kolonialis. Dan, jika ada ulama' yang mengharamkan golput alias tidak memilih, maka ulama' tersebut dapat digolongkan sebagai ulama' As Su'.

Pesan saya untuk seluruh umat Islam, jadilah 'pemilih cerdas' yaitu pemilih yang memilih untuk tidak memilih apapun karena parpol, politisi, dan seluruh budak demokrasi adalah orang-orang dzolim yang hanya akan mengeruk kekayaan negeri ini.
Wallahu a'lam.

Tuesday, March 4, 2014

Ekonomi = RIBA

    Mengapa saya membuat judul seperti di atas ? Mungkin bagi sebagian besar pembaca berkata dalam hati, "ah...sok penting aja, ngapain mikir ekonomi rakyat..., mikir diri sendiri aja susah..." (hehehe...).
    Memang benar saya bukanlah pejabat atau orang penting. Namun ini semua berangkat dari pengalaman saya sebagai marketing di sebuah koperasi jasa keuangan syariah. Di koperasi tersebut, saya mempelajari banyak hal. Mulai dari akuntansi, manajemen, sampai 'hal yang pribadi' . Kalau 'hal yang pribadi' itu biarlah menjadi rahasia :)
    Koperasi, katanya, melandaskan kegiatan berdasarkan prinsip gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan. Koperasi merupakan kumpulan beberapa orang untuk mengadakan usaha bersama dan bertujuan menyejahterakan anggotanya,
    Namun, berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya, koperasi sekarang banyak yang menjalankan usahanya seperti sebuah bank, dan modal koperasi berasal dari pemegang saham.
    Yang jadi pertanyaan, apakah koperasi sekarang bisa menjadi soko guru perekonomian bangsa ? Atau telah beralih ke sistem ekonomi kapitalis ?Berikut penjelasannya .
    Koperasi itu tak ubahnya sebuah bank. Bank, Bank Syariah, BPR Syariah, Koperasi Syariah, BMT adalah kumpulan lembaga keuangan berbasis RIBA ! Kalau pun ada yg bilang Bank Syariah dan Koperasi Syariah atau BMT itu berbasis syariah karena menggunakan BAGI HASIL, langsung terang-terangan saya jawab, BOHONG BESAR !!! Dan jika Koperasi sbg soko guru ekonomi rakyat, justru sebaliknya, Koperasi itu mencekik rakyat. Akad dalam lembaga keuangan syariah sejatinya hanyalah kamuflase untuk meng-abu-abu-kan RIBA, Semua lembaga keunagan adalah sama saja.

PARA BURUH TELAH DIBOHONGI MENGENAI KEADAAN MEREKA SENDIRI

Oleh: Shaykh Umar Ibrahim Vadillo

Pengangguran bukanlah akibat tenaga kerja manusia diganti oleh kehadiran mesin-mesin. Ini tidak benar.

Mesin memang bisa menggantikan kerja manusia, tetapi ini tidak membuktikan bahwa pengangguran terjadi akibat teknologisasi proses-proses produksi, kecuali jika kita menganggap bahwa satu-satunya cara untuk meraih pendapatan adalah dengan menjadi seorang pekerja yang bekerja demi upah. Dan ini pun tidak benar.

Sebelum anda menganggap bahwa bekerja adalah menjadi seorang pekerja, kita harus kaji lebih dahulu apa sebenarnya yang memaksa kita menjadi pekerja, sehingga kita tidak mampu memiliki usaha sendiri (berswakarya). Mengapa tidak kita ganti saja istilah “penganggur” (tuna-karya) menjadi "tuna-swakarya"?

Mengapa tiba-tiba khalayak digolongkan sebagai pekerja atau penganggur, padahal sejarah membuktikan bahwa di masa silam sebagian besar khalayak berswakarya? Benarkah biang keladi pengangguran adalah teknologisasi proses-proses produksi? Salah, di sinilah justru kebohongannya.

Riba adalah satu-satunya penyebab keadaan yang konon disebut sebagai "pengangguran", atau lebih tepat, ribalah satu-satunya penyebab musnahnya berkesempatan untuk berswakarya.
Inti sari bisnis dan usaha adalah perdagangan, yaitu membeli lalu menjual. Selama masih ada orang yang memiliki sesuatu, dan masih ada orang yang ingin memiliki sesuatu, perdagangan akan selalu ada. Perdagangan tidak akan berkurang dengan adanya mesin-mesin, karena mesin tidak memiliki barang dagangan, mesin hanya bisa dijadikan sebagai alat produksi atau untuk aneka kegunaan lain. Para pekerja dapat digantikan oleh mesin-mesin, tetapi pedagang tidak.

Perdagangan tidak bisa dimusnahkan oleh mesin-mesin, namun bisa punah dengan adanya bunga sistem perbankan, yang apapun istilah maupun jenisnya, tetap saja riba.
Tingkat suku bunga bank berfungsi sebagai rintangan yang akan mematikan setiap usaha yang berada di bawahnya. 
 
Jika suku bunga bank adalah 10%, maka tak seorangpun akan menanam modal dalam proyek usaha baru apapun yang berancar-ancar akan berbagi hasil sejumlah 6% dari modal; dan bila anda sedang melangsungkan usaha dengan bagi hasil 6%, maka anda akan terpikat untuk melego saja usaha anda dan menimbun uangnya di bank. Dengan demikian setiap usaha yang berada di bawah suku bunga 10% itu akan punah.

Margaret Thatcher dan para pakar moneter menyebut hal itu sebagai "penyingkiran usaha-usaha yang tidak berdaya saing", demi meningkatkan "daya saing" negara. Namun mereka tidak menyatakan bahwa sebenarnya terdapat jauh lebih banyak usaha yang bisa dijalankan dengan keuntungan yang sangat kecil. Usaha yang bisa berkeuntungan besar hanya segelintir, yang lebih banyak adalah usaha-usaha berkeuntungan kecil. Dan sebagian besar usaha-usaha yang untungnya kecil itu adalah usaha kecil. Jadi sesungguhnya, fungsi suku bunga tadi adalah pemusnahan kesempatan hidup bagi mayoritas usaha kecil, demi peningkatan daya saing.
Jadi bagaimana mungkin pemusnahan usaha-usaha kecil bisa disebut sebagai “peningkatan daya saing”, padahal kita memahami bahwa lebih baik ada 20 usaha kecil, dibanding dengan hanya satu usaha yang 20 kali lipat lebih besar? Apalagi manajemen swakarsa tentu lebih luwes dibanding manajemen birokratis piramidis. Di sinilah perbedaan antara perusahaan swakarya dengan perusahaan raksasa. Hal ini pula yang seharusnya menjadi nilaih lebih pasar bebas dibanding komunisme.

Jadi tujuan mereka "meningkatkan daya saing" adalah, agar hanya perusahaan-perusahaan besar saja yang bisa hidup, berkat raibnya gangguan dari usaha-usaha kecil pesaingnya, dan tentunya berkat berubahnya para pengusaha mandiri itu menjadi tenaga kerja murah dan rendah diri.

Dampak dari uang kertas yang dibuat seolah-olah ada nilainya dan tersedia dalam jumlah yang besar adalah: pembasmian usaha-usaha kecil. Tingkat suku bunga secara paksa telah merubah khalayak pengusaha mandiri menjadi pekerja-pekerja upahan yang sangat taat dan menghamba. Dan semua proses ini telah berlangsung selama berabad-abad.

Kini kita telah kembali mencapai puncak feodalisme baru. Socrates dengan tegas menyatakan bahwa upah itu khusus untuk para kacung dan budak. Kini kita semua telah dijadikan kacung dan budak. Terbebasnya masyarakat dari feodalisme abad pertengahan1 ditandai oleh kemerdekaan masyarakat untuk berswakarya atau untuk memilih bentuk pendapatannya sendiri. Hingga 150 tahun yang lalu, bekerja untuk orang lain masih dianggap sebagai sesuatu yang hina, yang hanya dilakukan secara sementara karena ditimpa krisis, atau terbatas dilakukan oleh mereka yang tak mampu mandiri. Dengan kehadiran bank-bank, keadaan itu dengan cepat berubah menjadi keadaan di mana khalayak mau tidak mau harus bekerja untuk orang lain, karena jika tidak mereka tak akan bisa memiliki apapun.

Awalnya, para bankir merekayasa 'kekuatan pasar' (melalui tingkat suku bunga) supaya manusia-manusia mandiri dijadikan "para pekerja" dan selanjutnya ketika suku bunga semakin didongkrak maka para pekerja pun menjadi penganggur. Dosanya bukan karena saya tidak bisa mendapat pekerjaan, namun karena saya telah dikutuk untuk bekerja bagi orang lain, karena saya tidak punya kesempatan secelah pun untuk berswausaha dan berswakarya, baik sendirian maupun, misalnya, bersama 50 orang lainnya.

TIMBULNYA SOSIALISME
Sosialisme lahir untuk memerangi keadaan yang mengerikan itu. Sosialisme pada masa awal kejadiannya, sama sekali berbeda dengan Sosialisme menurut anggapan kita kini, bukan saja berbeda bahkan bertentangan. David Ricardo (salah satu ekonom yang jadi panutan Karl Marx), menyatakan bahwa penyebab pengangguran adalah kehadiran mesin-mesin saat revolusi industri. Namun kaum sosialis tidak puas dengan kesimpulan itu. 

Bakunin menetapkan bahwa sosialisme adalah "peruntuhan negara". Yaitu negara sebagai penyelenggara pemungutan pajak, yang hasilnya berperan mutlak demi pembayaran utang negara kepada bank-bank (sebagaimnaa yang kini terjadi), padalahl pajak merupakan perintang perdagangan. 

Di Dresden, Richard Wagner merumuskan bahwa revolusi adalah "pemerintahan tanpa negara, dan perniagaan tanpa riba". Joseph Pierre Proudhon pun menuduh riba sebagai "biang kerok kelumpuhan industri".

Sosialisme merupakan perlawanan pada negara administratif dan pada bank-bank, demi menegakkan pemerintahan tanpa pajak-pajak, dan perdagangan tanpa bank-bank.

Pembajakan Atas Sosialisme
Karl Marx, cucu seorang rabbi Yahudi, di bawah penugasan Mr. Rotschild (atasannya dari freemason Inggris), membuat teori nilai tambah (surplus value) dengan menyelewengkan makna riba.

Dalam bahasa Ibrani (bahasa Yahudi), riba disebut tarbith, yang arti harfiahnya adalah peningkatan nilai. Dagang tidak sama dengan riba. Dagang adalah mendatangkan keuntungan dari membeli dan menjual, setidaknya ada dua transaksi yang terjadi. Riba adalah mengambil untung dari satu transaksi, menuntut lebih dari yang sedikit (contohnya membungakan uang). 
Marx berkata bahwa perdagangan menciptakan nilai tambah (atau riba), sedangkan transaksi ribawi tidak akan menciptakan nilai tambah (riba). Seiring dengan itu Marx mengagungkan konsep Negara yang secara munafik disebutnya sebagai Worker's State (Negara Milik Para Pekerja), lalu dia pun meninggikan derajat sang pekerja upahan menjadi sesuatu yang sangat ideal dan bernilai kepahlawanan tinggi (bukannya sebagai keterpaksaan menjadi hamba negara dan hamba para bankir). Dengan pertolongan para freemason (The Fraternal Democrats – Persaudaraan Demokrat, the League of the Just –Liga Keadilan, dan lainnya), Karl Marx telah merampas revolusi Eropa milik Proudhon dan Bakunin, dan menjelmakannya menjadi kebalikannya.

Sosialisme modern bukanlah sosialisme (peruntuhan Negara), sosialisme modern adalah Marxisme.

Pengkhianatan Serikat Buruh-isme 
Serikat Buruh-isme adalah menyerah pada kekacungan. Serikat-serikat Buruh tidak mempertanyakan mengapa kita harus menjadi budaknya upah, namun tujuan utama perjuangan mereka adalah demi meningkatkan upah para pekerja. Serikat Buruh tidak akan pernah menyelesaikan masalah pengangguran, karena mereka telah pasrah menerima tegaknya sistem perbankan yang telah mengutuk mereka jadi pekerja yang tidak akan pernah bisa berswausaha.

Jadi, bukannya berjuang demi khalayak kelas pekerja, Serikat Buruh-isme malah menjamin bahwa akan selalu tersedia khalayak kelas pekerja. Terpujilah Serikat-serikat Buruh, berkat perjuangan mereka kini orang-orang tidak lagi bekerja 12 jam sehari demi upah yang memprihatinkan (setidaknya begitulah nampaknya), walaupun yang sebenarnya dicapai oleh Serikat Buruh hanyalah kacung yang sedikit lebih ceria. Dengan melakukan itu, Serikat Buruh mencegah agar pokok masalah sebenarnya tidak digugat. Serikat Buruh-isme adalah pemberontakan para budak melawan para Majikan, seraya mengakui bahwa mereka tidak bisa menjadi Majikan. Andaikan pilihan semata wayang hanyalah pengangguran, tentu saja mempunyai pekerjaan menjadi penting. Namun hal ini tidak akan membuat semua orang ceria selamanya

Serikat Buruh-isme sama dengan Marxisme, tidak mengecam riba. Mereka mengabaikan kata ini. Berkat mereka sistem perbankan jadi lestari

Untuk menghilangkan sifat penghambaan kita pada dialektika menjadi pekerja atau menjadi penganggur, kita harus membasmi riba, artinya sistem perbankan harus dihapuskan. Selama kita masih bersama sistem perbankan, kita tak akan bisa mengelak dari kenyataan bahwa kita bekerja untuk orang lain, dan orang lain itu adalah: para bankir yang memiliki segalanya. Para bankir itu siap untuk menghukum para kacungnya dengan ancaman kehilangan pekerjaan dan hidup bergantung pada belas kasih negara. Ketakutan psikologis ini menyapu bersih kesempatan untuk berfikir bebas. Akhirnya yang ada adalah para kacung yang jauh lebih picik dibanding para majikannya. Mereka telah membuat khalayak takut pada perubahan sekecil apapun, karena takut kehilangan sesuap nasi yang telah dijanjikan. 

Kita dicekoki bahwa inilah yang "praktis" itu. Walhasil, tak heran jika kita lihat betapa gigihnya para kacung membela sistem perbankan, walaupun mereka adalah salah seorang dari 90.000 warga (di Inggris) yang setiap tahun harus kehilangan rumahnya, gara-gara tidak bisa membayar jahatnya bunga cicilan. Perbankan sudah menjadi "agama" yang ortodoks, bahkan sudah menjadi sebuah tabu (pamali). Untung saja masih ada orang-orang yang tidak percaya pada “agama” ini dan ingin berbuat sesuatu untuk mengatasinya.

Lantas, Bagaimana caranya kita mencampakkan sistem perbankan? 

Pertama, mari kita pahami dahulu bagaimana cara kerja bunga bank. Bank-bank itu berfungsi seolah penyebar ulang uang yang berasal dari simpanan kita. Mereka mendapatkan uang dari kita semua, lalu meminjamkannya pada orang lain. Mereka tidak meminjamkan uang tersebut kepada sesiapa yang paling jujur, atau kepada proyek usaha mana yang paling bermanfaat bagi masyarakat. Mereka tak peduli hal itu. Bank-bank hanya akan meminjamkan uang kepada sesiapa yang memiliki agunan yang memadai, tak peduli apapun tujuan usahanya. Boleh jadi usaha itu sangat bejat, namun asalkan anda punya agunan maka anda akan mendapatkan pinjaman. Sebaliknya, walau seseorang memiliki proyek yang sangat menjanjikan, bisa jadi tidak akan dapat pinjaman karena dia tidak mempunyai agunan yang memadai. Jelas ini bukanlah sistem terbaik bagi masyarakat. Sistem terbaik dan teradil bagi masyarakat adalah, jika sistem itu bisa menjamin bahwa modal milik masyarakat akan ditanamkan pada proyek-proyek terbaik, terlepas dari apakah si pengusaha itu kaya atau tidak. Dikatakan pada para pekerja: Kamu tidak boleh mengelola bisnis-bisnis besar, karena terus terang saja siapa sih kamu? Kamu tidak punya uang. Kamu hanya boleh bekerja demi upah. Maka tak heran jika berduyun-duyun pekerja lebih sungguh-sungguh membina hubungan suci mereka dengan bank, ketimbang hubungan mereka dengan agamanya, bahkan biasanya banklah yang menjadi keyakinan pegangan mereka. Adapun sistem adil yang disebutkan barusan, hanya bisa dicapai dengan penggunaan tertib kontrak gaya baru, yaitu kontrak-kontrak yang mengaitkan keuntungan bagi hasil investasi kepada kegiatan usaha itu sendiri, dan bukan kepada bunga.
Ketika bank-bank belum berdiri, kontrak-kontrak yang berlaku dalam perdagangan adalah kontrak-kontrak dari commenda dan perkongsian.

Commenda adalah kontrak peminjaman uang untuk usaha, dengan demikian akan ada untung atau rugi. Cara ini bertentangan dengan kontrak ribawi, di mana bank meminjamkan uang tanpa peduli kemungkinan kerugian usaha, bank hanya mau untungnya. Dalam kontrak ribawi, anda tidak menanam modal demi kepentingan usaha, melainkan demi keuntungan dari kontraknya saja. Bunga atas pinjaman sama dengan menyewakan uang, walaupun pada uang tidak ada "benda" yang bisa disewa. Bunga adalah mengeduk untung tanpa memberi manfaat apapun.

Bentuk kontrak lainnya adalah perkongsian. Inti sari perkongsian adalah pengalihan tanggung jawab atas barang/jasa kepada orang lain, dan orang lain pun melakukan hal yang sama kepada anda. Dalam pengalihan barang/jasa dari orang ke orang ini, kita akan menemukan dasar-dasar dalil yang revolusioner: membangun usaha tanpa perlu modal keuangan, artinya melakukan usaha tanpa harus memiliki modal atau memiliki usahanya. Ini adalah sesuatu yang tidak terpikirkan oleh manusia modern. Menakjubkan! Dahulu usaha-usaha biasa berlangsung tanpa bergantung pada modal. Perkara ini tidak ada kaitannya dengan sistem Bursa Saham yang busuk itu, melainkan berkaitan dengan pembentukan guilds sebagai badan-badan pemodal mandiri non formal, yang kini sudah dipunahkan oleh bank-bank. Kabar barunya adalah bahwa untuk menjadi pengusaha, anda tidak perlu jadi pemilik barang/jasa. Anda tidak memerlukan bank, yang anda perlukan adalah orang. Ini kabar buruk bagi bank-bank. Sistem sedemikian dapat berfungsi bila di antara kita ada sifat saling percaya. Dan sifat inilah yang menyebabkan kita dapat mandiri, hingga tak perlu bekerja demi upah. Sifat ini pula yang menjadi syarat hidupnya sistem commenda dan perkongsian. Dan semua ini adalah dasar-dasar bagi tegaknya pembaharuan dunia.

Bagaimanakah cara bank-bank menghapus sistem kontrak commenda, dan menggantinya dengan pinjaman berbunga? Dan bagaimana pula bank-bank dapat menjelmakan orang-orang yang bersyarikat dalam perkongsian menjadi orang-orang pengais upah?

Bank-bank menciptakan barang baru. Mereka ciptakan sistem uang kertas. Bahkan perbankanlah sistem uang kertas. Pada awalnya, kemampuan sistem ini cukup menakjubkan. Bank-bank dapat menarik 1000 pound emas dan kemudian meminjamkan 20 kali lipatnya; yaitu 20.000 pound dalam bentuk kertas, artinya menciptakan kredit dari nihil. 

Pada masa itu, bank-bank (yang semuanya dikuasai oleh para Yahudi) diundang ke mana-mana di Eropa, karena mereka bisa mendatangkan uang dari nihil. Pada awalnya masyarakat terpesona, sebab mendadak di kota ada perputaran uang yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Usaha-usaha baru pun bermunculan di mana-mana. Bahkan bank menawarkan kertas-kertas yang bertuliskan angka-angka yang bernilai lebih tinggi dari emas yang hendak ditukarkan. 10 pound kertas diobral untuk ditukar 5 pound emas. Tak seorangpun bisa tahan godaan ini. Namun masalahnya, uang kertas itu bagaikan candu, efek pertamanya hebat lalu anda akan kecanduan. Dan beberapa tahun kemudian, ketika badai telah berlalu, baru khalayak sadar bahwa kini semua uang emas telah dikuasai oleh segelintir orang baru, sedangkan khalayak sisanya tidak lagi punya uang emas. Dan ketika khalayak menyerbu bank untuk menukarkan kembali lembaran-lembaran kertas itu dengan emas, diumumkanlah bahwa nilai uang kertas telah anjlok, bahwa mereka hanya bisa memperoleh emas senilai 1/100 dari nilai tertulis di kertas, atau pilih untuk terus memakai kertas-kertas itu. Khalayak telah ditipu. Kini, atas nama peradaban, proses yang sama pun sedang berlangsung di Nigeria utara. Mari kita tegaskan: Inflasi yang diakibatkan oleh pemaksaan satu alat tukar (yang dikendalikan oleh bank) adalah perampokan. Dan tidak mengijinkan khalayak untuk memilih alat tukarnya sendiri adalah penipuan.

Tingkat suku bunga perbankan telah membasmi usaha-usaha kecil. Mereka telah mengumpulkan lautan harta (uang-kredit) dan telah merekayasa penyalurannya hanya kepada perusahaan-perusahaan besar milik segelintir orang. Mereka tidak membuka kesempatan secelah pun bagi tumbuhnya perkongsian. Seluruh revolusi teknologi yang katanya demi manusia, telah dibajak oleh sistem perbankan dan dijelmakan jadi monster biadab. 
Dahulu ketika Eropa sibuk menjajah, masalah perampokan abadi dengan menggembosi nilai uang kertas ini tidak terlalu mencemaskan khalayak, karena berhasil diredam oleh pasokan besar-besaran aneka jarahan dari koloni-koloni jajahan, sehingga mengesankan bahwa keadaan baik-baik saja. Akan tetapi begitu hutang koloni-koloni di Dunia Ketiga itu mencapai titik jenuhnya, artinya mereka sudah tidak bisa dijarahi lagi, maka bahaya laten sistem ribawi itu mulai bangkit menyusupi rumah mereka sendiri. Jadi di masa kini, bukan hanya Dunia Ketiga saja yang hidup tertekan ditimpa hutang abadi, khalayak di Dunia Pertama pun kini sudah hampir gila menghadapinya.

Kita semua telah dijadikan kacung oleh sistem perbankan, karena mereka memusnahkan kesempatan hidup usaha-usaha kecil, dan lebih-lebih lagi, mereka telah menjadikan kita sebagai penghutang-penghutang abadi. Gara-gara Negara berhutang, kita pun terlahir sebagai penghutang (bagaikan “dosa asal”), dan dengan kemampuan mereka memonopoli dan merekayasa kekuatan-kekuatan pasar, mereka menjamin bahwa semua upah yang akan mereka keluarkan untuk anda selama 20 tahun mendatang, akan tersedot kembali kepada mereka (para Majikan) karena anda membayar cicilan rumah yang harganya sudah dipompa berkali lipat. Kalau tidak mau begini, anda bisa menyewa rumah anda dan tak perlu punya apa-apa, cukup para Majikan saja yang memiliki segalanya, dan cukup anda saja yang bekerja.

Tentu ini adalah tawaran yang sangat busuk. Serikat-serikat Buruh tidak akan membela para pekerja. Mereka akan berusaha agar para pekerja masuk kerja terus. Semua partai politik adalah dagelan dan tak akan mampu benar-benar membawa pembaharuan bagi masyarakat, karena semua kebijakan mereka bergantung pada bank. Sebelum kita belajar untuk hidup tanpa bank-bank, kita akan terus menjadi kacung-kacungnya. Kepercayaan adalah ajang di mana kontrak-kontrak commenda dan perkongsian bisa berjaya lagi. Dan ajang itu hanya bisa digalang dengan menerapkan kontrak-kontrak usaha yang tidak bergantung pada bank, melainkan cukup pada wewenang seseorang yang mandiri dan mewakili khalayak. Dengan kata lain, kita harus menghidupkan kembali bentuk-bentuk wewenang tradisional yang bersifat lokal, misalnya seperti Kepala-kepala marga di Skotlandia, Kepala-kepala suku di Afrika, para Lendakari di lembah negeri Basque, Amir-amir di Arab, atau seperti kepala-kepala keluarga mafia di Sisilia. Kepemimpinan masyarakat yang kini dikuasai perbankan harus direbut kembali. 

Jika kita sadar bahwa bank-bank telah menipu kita dan kita ingin terbebas darinya, maka kita harus mengalihkan tumpuan kepercayaan kita kepada pihak lain. Pada akhirnya sang pemimpin sebuah masyarakat harus bisa menjamin penyelenggaraan hukum-hukum dan dipenuhinya kontrak-kontrak, sehingga tumbuhlah saling percaya antar warga. Salah satu contoh ini adalah Mafia. Sayangnya, tinggal merekalah satu-satunya kaum di Eropa yang dapat membuat kontrak di antara mereka, dengan kepemahaman bahwa kontrak itu akan dipenuhi. Karena tak ada seorangpun yang berani berbuat keliru, dan khalayak Mafia punya rasa saling percaya yang sangat tinggi, dengan cara mereka sendiri yang tidak mungkin dilaksanakan di luar lingkaran mereka. Sayang, tinggal merekalah satu-satunya kaum di Eropa yang bisa mengejawantahkan kepemimpinan.

Unsur terpenting untuk terbebas dari tirani sistem moneter bank dan aneka praktek ribawinya, adalah dengan adanya pihak yang diberi wewenang secara lokal, yaitu dalam jangkauan masyarakatnya. Tanpa adanya pengemban amanah itu, banklah yang akan berwenang, yang akan mendikte langkah-langkah kebijakan semua bangsa, dan kita akan terkutuk jadi kacung-kacung upahan mereka. Jika anda ingin keluar dari perangkap ini, anda harus bergabung bersama mereka yang sepaham, pilihlah seorang pemimpin dan nyatakanlah diri anda merdeka dari jeratan riba. Di luar sana, banyak orang sedang melakukan hal yang sama.
Satu-satunya jalan keluar dari sistem ribawi adalah Islam. Karena hanya Islamlah yang menegakkan pemerintahan tanpa negara dan perniagaan tanpa riba. Zaman yahudi dan kristen telah kadaluwarsa. Hanyalah dengan memahami bahwa "tiada tuhan selain Allah", baru manusia bisa berhenti menyembah segala sesuatu yang fana – seperti negara, uang dan pekerjaan mereka – dan menjadi merdekalah mereka. Hanyalah dengan membenarkan bahwa “Muhammad ialah Utusan Allah”, baru akan tegak keadilan dalam transaksi. Pilih Islam atau Ekonomi, pilih Islam atau Sistem Perbankan, inilah keputusan yang harus diambil oleh setiap insan.

Islam adalah Pemerintahan tanpa negara dan Perdagangan tanpa riba!
 
Ingin ngobrol dengan saya? Follow @mastorry 
 

Makna Inflasi yang Sebenarnya

Bagaimana Anda menanggapi pernyataan bahwa karena emas dan perak merupakan komoditas, nilai mereka berasal dari biaya produksi dan juga tunduk pada inflasi-deflasi?

Benar, emas dan perak adalah komoditas. Tetapi nilai yang ada tidak berasal dari ongkos produksi tetapi dari nilai pasar. Ongkos produksi penambangan emas bervariasi dari seratus dolar per ons sampai lebih dari seribu dolar per ons, namun harga emas secara universal sama. Tapi ketika sampai pada istilah inflasi saya akan memberitahu mereka bahwa istilah "inflasi" berasal dari sihir ilmu palsu yang disebut Ekonomi dan karena itu setiap upaya untuk memahami dunia dengan ilmu sihir ini akan menjadi ilusi monumental.

Awalnya istilah "inflasi" pertama kali digunakan selama Perang Saudara di Amerika mengikuti perkembangan mata uang nota bank swasta yang dicetak selama periode itu. Istilah "inflasi" merujuk langsung ke depresiasi mata uang yang terjadi akibat jumlah nota bank melampaui jumlah logam yang tersedia untuk penebusan mereka. Istilah inflasi kemudian dirujuk ke devaluasi mata uang, dan bukan kenaikan harga barang.

Tak perlu dikatakan itu dipandang sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan penipuan. Untuk mengambil "panas" dari istilah ini para penyihir (para ekonom) mengekstrapolasikan istilah ini kepada harga komoditas, kadang-kadang disebut inflasi harga. Mereka lantas menerima istilah ini sebagai fakta, ini ibarat menerima perampokan sebagai bagian alamiah dari perilaku manusia.

Setiap komoditas di pasar mengalami fluktuasi harga karena tergantung kepada harga yang ditawarkan dan permintaannya. Dan ini sesuatu yang sehat. Tapi ini berbeda dari fenomena kenaikan buatan akibat pasokan uang yang kita derita hari ini. Uang kertas tidak menghasilkan pasar bebas karena merupakan monopoli itu sendiri. Dan di sinilah terletak penggunaan voodoo lebih lanjut dari kata "pasar bebas", seperti yang dilakukan oleh para penyihir. Pasar bebas hanya dapat terjadi jika tidak ada monopoli, khususnya pada pasokan uang.


Istilah "inflasi/deflasi" tidak bisa digunakan untuk memahami perilaku komoditas di pasar bebas. Dan karena itu segala sesuatu yang berlaku bagi pemahaman mereka tentang inflasi tak ada hubungannya dengan persoalan kita. Jika mereka mencoba menggunakan argumen untuk mengatakan kepada Anda bahwa emas seperti uang kertas dalam hal inflasi, itu menunjukkan mereka tidak mengerti apa itu inflasi. Dan posisi Anda dalam membela penggunaan komoditas sebagai uang juga tidak ada hubungannya dengan harga. Hal ini lebih berhubungan dengan kebebasan. Jadi, jika seorang penyihir mencoba untuk berpendapat bahwa Anda harus lebih memilih uang kertas mereka, jawaban Anda adalah "Saya mengerti di mana Anda berdiri (dengan senyum menyeringai), namun keputusan untuk memilih alat tukar ini adalah milik saya, bukan milik Anda atau siapapun. Saya berdiri demi kebebasan karena saya seorang Muslim".


Tapi sejujurnya, untuk mencoba dan menjelaskan apa itu Ekonomi kepada ekonom, adalah seperti mencoba menjelaskan siapa Yesus, rahimahullah, pada seorang Kristen. Mereka tidak bisa berpikir. Jadi, jangan mencoba untuk membujuk mereka dengan argumen. Ketika mereka datang kepada saya dan mereka datang cukup sering karena mereka tahu saya sama sekali tidak toleran dengan ilmu voodoo mereka dan saya menganggap mereka sebagai telah mengalami cuci otak, hal pertama yang saya katakan kepada mereka adalah "betapa sedihnya saya atas pilihan karir mereka, secara mubazir telah menghabiskan waktu belajar untuk suatu omong kosong dan saya akan memperingatkan mereka bagaimana sulitnya bagi mereka untuk memahami dan beradaptasi dengan dunia normal yang membuat mereka benar-benar tidak mampu memahami Islam."

*Syakh Umar Ibrahim Vadillo adalah ulama besar asal Granada, Spanyol. Dia pelopor agar umat Islam sedunia kembali menggunakan mata uang as Sunnah, Dinar (emas) dan Dirham (perak). Oleh Syakh Abdalkadir as Sufi, dia disebut sebagai faqih nomor satu yang dimiliki umat Islam era kini, dalam bidang finansial.

http://basyirahmedia.com/showdetail.php?mod=art&id=124&t=Makna%20Inflasi%20yang%20Sebenarnya%20&kat=Muamalah

Akhir Tahun 2019

Tidak terasa sekarang sudah menginjak akhir tahun 2019 Masehi, waktu terasa begitu cepat, seolah baru kemarin menginjakkan kaki di 2019. Ban...